Mar 03 2025
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Indonesia tengah merancang dan bersiap untuk meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif ambisius yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Program ini mencakup berbagai kelompok masyarakat, termasuk siswa dari PAUD hingga SMA, ibu hamil, balita, lansia, dan kelompok disabilitas. Tujuan utama MBG adalah meningkatkan kecukupan gizi, mengurangi angka putus sekolah, serta merangsang pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Global Strategi Riset Indonesia (GSRI) mengungkapkan sejumlah fakta mengejutkan. Dalam laporan berjudul "Antara Janji Politik dan Pemborosan Uang Negara", ditemukan bahwa program serupa telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk, dengan setidaknya 10 program terdahulu yang memiliki konsep serupa. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah MBG akan menjadi solusi inovatif atau hanya tumpang tindih dengan program yang sudah berjalan?
Sebastian Salang, Direktur Eksekutif GSRI, mengungkapkan bahwa dalam analisis dokumen anggaran dan kebijakan sebelumnya, ditemukan bahwa program serupa telah dijalankan oleh pemerintahan terdahulu. Meskipun menggunakan nama berbeda, inti kebijakannya tetap sama: memberikan bantuan pangan kepada kelompok rentan. Bahkan, beberapa dari program ini masih berjalan hingga saat ini.
"Kami mencatat bahwa program-program sejenis telah ada sebelumnya. Artinya, ketika MBG mulai dijalankan pada 2025, masih ada 10 program serupa yang tetap berjalan. Ini menimbulkan potensi tumpang tindih kebijakan serta kemungkinan terjadinya pemborosan anggaran negara," ungkapnya.
Program MBG berada di bawah kendali Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga baru yang dibentuk khusus untuk mengelola kebijakan ini. Beberapa tujuan utama MBG meliputi:
Meningkatkan gizi ibu hamil dan balita.
Memberikan makanan bergizi dan susu gratis bagi siswa dari PAUD hingga SMA.
Meminimalisir pengeluaran rumah tangga dengan menyediakan makanan gratis.
Mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pemberdayaan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.
Dalam praktiknya, program ini akan dijalankan melalui konsep dapur umum (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi - SPPG) yang akan didirikan di berbagai wilayah. Menurut dokumen BGN, target awalnya adalah membangun 500 dapur umum pada Januari 2025, yang akan ditingkatkan menjadi 5.000 dapur umum pada pertengahan tahun.
Meskipun memiliki tujuan baik, riset GSRI menemukan sejumlah kendala yang dapat menghambat keberhasilan program MBG:
• Tumpang Tindih dan Potensi Anggaran Ganda. Dengan 10 program serupa yang masih berjalan, MBG bisa berisiko membebani anggaran negara.
• Koordinasi yang Kompleks. MBG harus berkoordinasi dengan 10 kementerian dan berbagai lembaga, yang dapat memperlambat birokrasi.
• Ketimpangan Geografis. Dapur umum di ibu kota kabupaten mungkin tidak menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
• Teknis Penyaluran Makanan. Model dapur umum berisiko menghadapi masalah distribusi, kualitas makanan, dan transparansi anggaran.
• Masalah Validitas Data Penerima Manfaat. Sistem pendataan yang kurang akurat dapat menyebabkan distribusi bantuan yang tidak tepat sasaran.
Sebagai program prioritas Presiden Terpilih Prabowo Subianto, MBG diharapkan dapat membawa manfaat besar bagi masyarakat. Namun, riset GSRI menunjukkan banyak tantangan yang perlu diselesaikan agar program ini tidak hanya menjadi janji politik tanpa hasil konkret.
Jika pemerintah ingin memastikan keberhasilan MBG, beberapa langkah perlu dilakukan:
1. Evaluasi program-program sebelumnya agar tidak terjadi duplikasi kebijakan.
2. Menyederhanakan struktur birokrasi dan mekanisme koordinasi agar lebih efisien.
3. Menyempurnakan sistem pendataan penerima manfaat agar tepat sasaran.
4. Menyesuaikan model pelaksanaan dengan kondisi geografis Indonesia.
Tanpa langkah-langkah perbaikan ini, Program MBG berisiko menjadi sekadar proyek mercusuar tanpa realisasi efektif. Oleh karena itu, publik harus tetap kritis dalam mengawal kebijakan ini agar benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.