Mar 04 2025
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang bakal menjadi ‘jurus pamungkas’ untuk mengatasi masalah stunting dan gizi buruk, justru diwarnai beragam persoalan konseptual dan teknis sejak awal. Hal ini terungkap dalam paparan Direktur Eksekutif Global Strategi Riset Indonesia (GSRI), Sebastian Salang, bersama host Podcast Data1n, Sabrina Restawan. Keduanya membedah secara rinci kondisi lapangan, data anggaran, hingga proses distribusi makanan yang ternyata masih jauh dari harapan.
Niat Baik, Eksekusi Bikin Pening
Dari penjelasan GSRI, program MBG diluncurkan dengan niat mulia: memberi asupan bergizi bagi anak-anak dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA, serta menjangkau ibu hamil dan ibu menyusui di seluruh Indonesia. Bahkan, pemerintah sempat menegaskan bahwa prioritas utama justru ditujukan bagi kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Sayangnya, hasil riset GSRI mendapati kenyataan berbeda. Dapur-dapur umum—yang bertugas memasak serta mendistribusikan makanan—baru banyak terbentuk di wilayah kota besar. Alih-alih menjangkau daerah pelosok, pemenuhan target 5000 dapur umum justru mandek pada angka 200-an dapur saja sampai awal Februari.
Anggaran Raksasa, Sasaran Masih Buram
Dalam paparannya, GSRI menegaskan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) mengelola anggaran fantastis, yaitu 71 triliun rupiah (sebelum tambahan). Angka ini bahkan bisa membengkak menjadi 171 triliun rupiah seiring janji pemerintah untuk menambah porsi pendanaan. Dengan anggaran sebesar itu, pertanyaannya: apakah pelaksanaan di lapangan sudah sepadan?
Pasalnya, dari total 171 triliun rupiah, sekitar 56 triliun rupiah dialokasikan khusus untuk pembelian bahan makanan—namun, di atas kertas, menu bagi anak-anak PAUD hingga SD kelas 3 hanya dianggarkan Rp6.000,00 per porsi. Sedangkan siswa SD kelas 4 ke atas hingga ibu menyusui mendapat Rp10.000,00 per porsi. Angka ini menimbulkan kebingungan: bagaimana memastikan kandungan gizi tinggi dengan biaya sekecil itu?
Dapur Umum “Bersponsor”?
Tak hanya soal makanan. Pembangunan dapur umum berikut pengadaan peralatan masak—seperti kompor, panci, hingga food tray—ikut memunculkan pertanyaan. Program MBG mewajibkan standar tertentu yang acap kali membuat proses pengadaan membengkak. Pernah pula mencuat isu bahwa pembelian food tray dalam negeri lebih mahal ketimbang impor. Demi menggenjot industri lokal, impor konon dilarang, sementara harga produk lokal bisa menembus dua kali lipat.
‘Rapor Merah’ Koordinasi dan Validitas Data
Tak sedikit yang merasa bahwa program MBG sebenarnya berangkat dari janji politik pemimpin baru—yang ingin membuktikan komitmennya pada pemenuhan gizi generasi muda. Namun, tergesa-gesa mengeksekusi program tanpa perencanaan dan koordinasi matang dikhawatirkan akan menimbulkan pemborosan.
GSRI menyarankan beberapa solusi konkret:
1. Moratorium Pelaksanaan MBG. Menunda sementara pelaksanaan program MBG agar tidak semakin memperbesar kerugian negara.
2. Sinkronisasi Data dan Program. Memetakan dulu seluruh program serupa yang sudah berjalan—seperti PKH, bantuan permakanan, dan lainnya—agar tak terjadi duplikasi anggaran.
3. Validasi Penerima Manfaat. Menyusun data by name by address yang jelas, sehingga bantuan tepat sasaran.
4. Kejelasan Aset dan Mekanisme Pengadaan. Menetapkan prosedur transparan agar pembangunan dapur dan pembelian perlengkapan benar-benar menjadi aset negara, bukan pihak tertentu.
5. Pengawasan dan Audit. Meningkatkan transparansi serta akuntabilitas melalui audit rutin, mengingat anggaran MBG tergolong sangat besar.
Program Makan Bergizi Gratis awalnya digadang-gadang mampu menjadi titik balik penanganan gizi di Indonesia. Namun, melihat rangkaian masalah di atas—dari kesimpangsiuran data, minimnya kesiapan infrastruktur, hingga potensi pemborosan—rasanya perlu lebih banyak langkah koreksi.
Bak kata pepatah, “Niat saja tidak cukup jika eksekusinya amburadul.” Semoga pemerintah segera menerapkan rekomendasi, memperjelas data, menata ulang eksekusi di lapangan, dan memastikan anggaran raksasa yang digelontorkan tidak sia-sia. Karena pada akhirnya, kesehatan dan masa depan anak-anak bangsa adalah taruhan terbesar di balik kisruh pelaksanaan program MBG ini.