Feb 14 2025
Dalam satu dekade terakhir, utang negara menjadi salah satu isu utama dalam kebijakan fiskal Indonesia. Dengan peningkatan yang signifikan dari Rp5.780 triliun pada 2014 menjadi Rp16.601 triliun pada September 2024, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengelola beban utang sambil tetap menjaga stabilitas ekonomi.
Seiring meningkatnya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 54,68% (2014) menjadi 74,97% (2024), banyak pertanyaan muncul mengenai keberlanjutan kebijakan utang dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Artikel ini akan membahas posisi utang, jenis dan komposisinya, serta indikator penting dalam mengukur risiko utang luar negeri Indonesia.
Total utang publik Indonesia mengalami lonjakan drastis dalam 10 tahun terakhir. Sebanyak 25,53% dari total utang (sekitar Rp4.238 triliun) berasal dari kreditur asing, yang mengindikasikan ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pembiayaan eksternal.
Meskipun rasio utang luar negeri terhadap PDB sebesar 38,75% masih di bawah batas aman UU No. 17 Tahun 2003 (60%) dan ketentuan IMF, ada kekhawatiran bahwa rasio utang luar negeri terhadap ekspor yang mencapai 156% menunjukkan ketergantungan tinggi pada pembiayaan eksternal tanpa adanya penguatan sektor riil.
Struktur utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN), yang mencakup sekitar 88% dari total utang. Namun, kepemilikan SBN saat ini memperlihatkan tren yang dapat berdampak pada kebijakan moneter dan stabilitas keuangan nasional:
Ketergantungan terhadap SBN sebagai sumber utama pembiayaan menunjukkan bahwa tekanan terhadap imbal hasil (yield) SBN dapat menjadi tantangan serius bagi kebijakan moneter dan pasar keuangan Indonesia dalam jangka panjang.